BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali. Kerajaan ini berkembang pada abad IX-XI Masehi. Kerajaan
Buleleng diperintah oleh Dinasti Warmadewa. Keterangan mengenai kehidupan
masyarakat kerajaan Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa dapat dipelajari dari
beberapa prasasti seperti prasasti Belanjong, Panempahan, dan Melatgede.
Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan
sekitar pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849.
Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan
dengan cara menyatukan seluruh wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya
dikenal dengan nama
Den Bukit.
I Gusti Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I Gusti Gde
Pasekan adalah putra I Gusti Ngurah Jelantik dari seorang selir bernama Si Luh
Pasek Gobleg berasal dari Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki
kekuatan supra natural dari lahir. I Gusti Ngurah Jelantik merasa khawatir
kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan menyisihkan putra mahkota. Dengan cara
halus I Gusti Ngurah Panji yang masih berusia 12 tahun disingkirkan ke Den
Bukit, ke desa asal ibunya, Desa Panji.
I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan
Buleleng, yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa
(Blambangan). Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704,
Kerajaan Buleleng mulai goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling
berbeda.
Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan Mengwi namun kembali merdeka
pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780.
Raja Karangasem, I Gusti Gde Karang membangun istana dengan nama Puri
Singaraja. Raja berikutnya adalah putranya bernama I Gusti Pahang Canang yang
berkuasa sampai 1821. Kekuasaan Karangasem melemah, terjadi beberapa kali pergantian
raja. Tahun 1825 I Gusti Made Karangsem memerintah dengan Patihnya I Gusti
Ketut Jelantik sampai ditaklukkan Belanda tahun 1849.
Pada tahun 1846 Buleleng diserang pasukan Belanda, tetapi mendapat
perlawanan sengit pihak rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih / Panglima
Perang I Gusti Ketut Jelantik. Pada tahun 1848 Buleleng kembali mendapat
serangan pasukan angkatan laut Belanda di Benteng Jagaraga. Pada serangan
ketiga, tahun 1849 Belanda dapat menghancurkan benteng Jagaraga dan akhirnya
Buleleng dapat dikalahkan Belanda. Sejak itu Buleleng dikuasai oleh pemerintah
kolonial Belanda.
Dinasti (Wangsa) Warmadewa adalah para raja - raja dan penguasa Bali Kuno
yang memerintah pada tahun 804 - 1265 saka sebagaimana disebutkan dalam sumber
kutipan Purana Bali Dwipa, yang kisah awal dan berakhirnya dinasti warmadewa
ini dalam sejarah singkatnya disebutkan sebagai berikut,
·
Tersebutlah pada tahun 804 saka, Bali mengalami
kehancuran di bawah Mayadanawa dan setelah matinya Mayadanawa bertahtalah
seorang raja bernama Sri Kesari Warmadewa di Bali.
·
Ketika Sri Tapolung yang bergelar Bhatara Asta Asura
Ratna Bumi Banten menjadi raja di Bali dibantu oleh para Senapati, dengan patih
utama seperti Ki Pasung Grigis, Ki Kebo Iwa / Waruya, putra Ki Karang Buncing
dll.
§ Pada masa itu
datanglah ekspedisi kerajaan Majapahit yang dipimpin langsung oleh Gajah Mada
dan Arya Damar dan para Arya yang lainnya.
§ Terjadilah
pertempuran antara pasukan Bali dan Majapahit yang sangat dahsyat dimana saat
itu Dinasti Warmadewa mengalami kekalahan.
Warmadewa merupakan Salah satu dinasti kerajaan yang terbesar di Kepulauan
Nusantara dan semenanjung Asia.
Warmadewa berasal dari bahasa Sansekerta secara umum berarti berarti Dewa
Pelindung atau Dilindungi Dewa. Raja-raja dari Dinasti Warmadewa ini awalnya
berasal dari India(kerajaan Pallawa) -raja awalnya berasal dari India, dimana
ada raja berwangsa Warmadewa dan ada pula berwangsa Sanjaya.
Raja dinasti Warmadewa pertama di
Bali adalah Dalem Sri Kesari atau yang dikenal juga dengan Dalem Selonding,
datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10, beliau berasal dari
Sriwijaya(Sumatra) dimana sebelumnya pendahulu beliau dari Sriwijaya telah
menaklukkan Tarumanegara( tahun 686) dan Kerajaan Kalingga.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang di atas, penyusun ingin mengetahui:
1.
Bagaimana
kehidupan politik masyarakat kerajaan Buleleng pada Masa Dinasti Warmadewa?
2.
Bagaimana
kehidupan sosial budaya masyarakat kerajaan Buleleng pada Masa Dinasti
Warmadewa?
3.
Bagaimana
kehidupan ekonomi masyarakat kerajaan Buleleng pada Masa Dinasti Warmadewa?
4.
Bagaimana
kehidupan agama masyarakat kerajaan Buleleng pada Masa Dinasti Warmadewa?
C. TUJUAN
Laporan ini dibuat bertujuan untuk memenuhi tugas Sejarah serta
1.
Memahami
kehidupan politik masyarakat kerajaan Buleleng pada Masa Dinasti Warmadewa.
2.
Memahami kehidupan sosial budaya masyarakat kerajaan Buleleng pada Masa Dinasti Warmadewa.
3.
Memahami kehidupan ekonomi masyarakat kerajaan Buleleng pada Masa Dinasti Warmadewa.
4.
Memahami kehidupan agama masyarakat kerajaan Buleleng pada Masa Dinasti Warmadewa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PEMBAHASAN INTI
1. Kehidupan Politik
Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa.
Berdasarkan prasasti Belanjong, Sri Kesari Warmadewa merupakan keturunan
bangsawan Sriwijaya yang gagal menaklukkan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Kegagalan tersebut menyebabkan Sri Kesari Warmadewa memilih pergi ke Bali dan
mendirikan sebuah pemerintahan baru di wilayah Buleleng.
Pada tahun 989-1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh
Udayana Warmadewa. Udayana memiliki tiga putra, yaitu Airlangga,
Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Kelak, Airlangga akan menjadi raja terbesar
Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur. Menurut prasasti yang terdapat di pura batu
Madeg, Raja Udayana menjalin hubungan erat dengan Dinasti Isyana di Jawa Timur.
Hubungan ini dilakukan karena permaisuri Udayana bernama Gunapriya Dharmapatni
merupakan keturunan Mpu Sindok. Kedudukan Raja Udayana digantikan putranya,
yaitu Marakatapangkaja.
Rakyat Buleleng menganggap Marakatapangkaja sebagai
sumber kebeneran hukum karena ia selalu melindungi rakyatanya. Marakatapangkaja
membangun beberapa tempat peribadatan untuk rakyat. Salah satu peninggalan
Marakatapangkaja adalah kompleks candi di Gunung Kawi (Tampaksiring).
Pemerintahan Marakatapangkaja digantikan oleh adiknya, Anak Wungsu. Anak Wungsu
merupakan raja terbesar dari Dinasti Warmadewa. Anak Wungsu berhasil menjaga
kestabilan kerajaan dengan menanggulangi berbagai gangguan, baik dari dalam
maupun luar kerajaan.
Dalam menjalankan pemerinahan, Raja Buleleng dibantu oleh
badan penasihat pusat yang disebut pakirankiran
i jro makabehan. Badan ini terdiri atas senapati
dan pendeta Siwa serta Buddha. Badan ini berkewajiban memberi tafsiran dan
nasihat kepada raja atas berbagai permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Senapati bertugas di bidang kehakiman
dan pemerintahan, sedangkan pendeta mengurusi masalah sosial dan agama.
2. Kehidupan Sosial Budaya
Para ahli
memperkirakan keadaan masyarakat Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa tidak
begitu jauh berbeda dengan masyarakat pada saat ini. Pada masa pemerintahan
Udayana, masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang disebut wanua. Sebagaian besar penduduk yang
tinggal di wanua bermata pencaharian
sebagai petani. Sebyah wanua dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan
mampu mengayomi masyarakat.
Pada masa
pemrintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi dua kelompok besar,
yaitu golongan caturwarna dan
golongan luar kasta (jaba). Pembagian ini didasarkan pada kepercayaan Hindu
yang dianut masyarakat Bali. Raja Anak Wungsu juga mengenalkan sistem penamaan
bagi anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan nama pengenal sebagai
berikut.
1)
Anak
pertama dinamakan wayan. Kata wayan berasal dari wayahan yang berarti tua.
2)
Anak
kedua dinamakan made. Kata made berasal dari madya yang berarti tengah.
3)
Anak
ketiga dinamakan nyoman. Kata nyoman berasal dari nom yang berarti muda.
4)
Anak
keempat dinamakan ketut. Kata ketut berasal dari tut yang berarti belakang.
Selama pemerintahan
Anak Wungsu, peraturan dan hukum ditegakkan dengan adil. Masyarakat diberi
kebebasan berbicara. Jika masyarakat ingin menyampaikan pendapat, mereka
didampingi pejabat desa untuk menghadap langsung kepada raja. Kebebasan
tersebut membuktikan Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib rakyat yang
dipimpinnya. Jiwa seperti inilah yang saharusnya dilakukan pemimpin pada saat
itu. Jika Anda menjadi seorang pemimpin, Anda harus mendegar dan merespons
segala keluhan rakyat.
Masyarakat Buleleng
sudah mengembangkan berbagai kegiatan kesenian. Kesenian berkembang pesat pada
masa pemerintahan Raja Udayana. Pada masa ini kesenian dibedakan menjadi dua,
yaitu seni keraton dan seni rakyat. Dalam seni keraton dikenal penyanyi istana
yang disebut pagending sang ratu.
Selain penyanyi dikenal pula kesenian patapukan (topeng), pamukul (gamelan),
banwal (gadelan), dan pinus (lawak). Adapun jenis kesenian yang berkembang di
kalangan rakyat antara lain awayang
ambaran (wayang keliling), anuling
(peniup suling), atapukan (permainan
topeng), parpadaha (permainan
genderang), dan abonjing (permainan
angklung).
3. Kehidupan Ekonomi
Kegiatan ekonomi masyarakat Buleleng bertumpu pada sektor pertanian.
Keterangan kehidupan ekonomi masyarakat Buleleng dapat dipelajari dari prasasti
Bulian. Dalam prasasti Bulian terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan
sisitem bercocok tanam seperti sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang),
kebwan (kebun), mmal (ladang di pegunungan), dan kasuwakan (pengairan sawah).
Pada masa pemerintahan Marakatapangkaja kegiatan pertanian berkembang pesat.
Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan penemuan urut – urutan menanam
padi, yaitu mbabaki (pembukaan tanah), mluku (membajak), tanem (menanam padi),
matun (menyiangi), ani-ani (menuai padi), dan nutu (menumbuk padi). Dari
keterangan tersebut sangat jelas bahwa pada masa pemerintahan Marakatapangkaja penggarapan
tanah sudah maju dan tidak jauh berbeda dengan pengolahan tanah pada masa ini.
Perdagangan antarpulau di Buleleng sudah cukup maju. Kemajuan ini ditandai
dengan banyaknya saudagar yang bersandar dan melakukan kegiatan perdagangan
dengan penduduk Buleleng. Komoditas dagang yang terkenal dari Buleleng aalah
kuda. Dalam prasasti Lutungan disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu melakukan
transaksi perdagangan tiga puluh ekor kuda dengan saudagar dari Pulau Lombok.
Keterangan tersebut membuktikan bahwa perdagangan pada saai itu sudah maju
sebab kuda merupakan binatang besar sehingga memerlukan kapal besar pula untuk
mengangkutnya.
4. Kehidupan Agama
Agama Hindu Syiwa mendominasi kehidupan masyarakat
Buleleng. Akan tetapi, tardisi megalitik msih mengakar kuat dalam masyarakat
Buleleng. Kondisi ini dibuktikan dengan penemuan beberapa bangunan pemujaan
seperti punden berundak di sekitar pura-pura Hindu. Pada masa pemerintahan
Janasadhu Warmadewa (975-983) pengaruh Buddha mulai berkembang di Buleleng.
Agama Buddha berkembang di beberapa tempat di Buleleng seperti Pejeng, Bedulu,
dan Tampaksiring. Perkembangan agama Buddha di Buleleng ditandai dengan
penemuan unsur-unsur Buddha seperti arca Buddha di gua Gajah dan stupa di pura
Pegulingan.
Agama Hindu dan
Buddha mulai medapatkan peranan penting pada masa Raja Udayana. Pada masa ini
pendeta Syiwa dan Brahmana Buddha diangkat sebagai salah satu penasihat raja.
Sesuai dengan kepercayaan Hindu, raja dianggap penjelmaan (inkarnasi) dewa.
Dalam prasasti Pohon Asem dijelaskan Anak Wungsu merupakan penjelmaan Dewa Hari
(Wisnu). Bukti ini menunjukkan bahwa Raja Anak Wungsu dan rakyat Buleleng
merupakan penganut waisnawa, yaitu pemuja Dewa Wisnu. Selain agama Hindu dan
Buddha, di Buleleng berkembang sekte-sekte kecil yang menyembah dewa-dewa
tertentu, misalnya sekte Ganapatya (penyembah Dewa Gana) dan Sora (penyembah
dewa Matahari).
B. INFORMASI TAMBAHAN
1. Sistem Pemerintahan
Berikut merupakan raja-raja yang memerintah Buleleng:
a. 882M
- 914M Shri Kesari Warmadewa
Raja
dinasti Warmadewa pertama di Bali adalah Shri Kesari Warmadewa [ yang bermakna
Yang Mulia Pelindung Kerajaan Singha] yang dikenal juga dengan Dalem Selonding,
datang ke Bali pada akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10, beliau berasal dari
Sriwijaya(Sumatra) dimana sebelumnya pendahulu beliau dari Sriwijaya telah
menaklukkan Tarumanegara( tahun 686) dan Kerajaan Kalingga di pesisir utara
Jawa Tengah/Semarang sekarang. Persaingan dua kerajaan antara Mataram dengan
raja yang berwangsa Sanjaya dan kerajaan Sriwijaya dengan raja berwangsa
Syailendra( dinasti Warmadewa) terus berlanjut sampai ke Bali.
Didalam
sebuah kitab kuna yang bernama "Raja Purana", tersebutlah seorang
raja di Bali yang bernama Shri Wira Dalem Kesari dan keberadaan beliau dapat
juga diketahui pada prasati ( piagam ) yang ada di Pura Belanjong di Desa
Sanur, Denpasar, Bali. Di pura itu terdapat sebuah batu besar yang kedua belah
mukanya terdapat tulisan kuna, sebagian mempergunakan bahasa Bali kuna dan
sebagian lagi mempergunakan bahasa Sansekerta. Tulisan-tulisan itu menyebutkan
nama seorang raja bernama "Kesari Warmadewa", beristana di
Singhadwala. Tersebut juga didalam tulisan bilangan tahun Isaka dengan
mempergunakan "Candra Sengkala" yang berbunyi : "Kecara Wahni
Murti". Kecara berarti angka 9, Wahni berarti angka 3 dan Murti berarti
angka 8. Jadi Candra Sekala itu menunjukan bilangan tahun Isaka 839 ( 917 M ).
Ada pula bebrapa ahli sejarah yang membaca bahwa Candra Sengkala itu berbunyi
"Sara Wahni Murti", sehingga menunjukan bilangan tahun Isaka 835 (
913 M ). Pendapat yang belakangan ini dibenarkan oleh kebanyakan para ahli
sejarah.
Dengan
terdapatnya piagam tersebut, dapatlah dipastikan bahwa Shri Wira Dalem Kesari
tiada lain adalah Shri Kesari Warmadewa yang terletak dilingkungan desa
Besakih. Beliau memerintah di Bali kira-kira dari tahun 882 M s/d 914 M,
seperti tersebut didalam prasasti-prasasti yang kini masih tersimpan didesa
Sukawana, Bebetin, Terunyan, Bangli ( di Pura Kehen ), Gobleg dan Angsari.
Memperhatikan gelar beliau yang mempergunakan sebutan Warmadewa, para ahli
sejarah menduga bahwa beliau adalah keturunan raja-raja Syailendra di Kerajaan
Sriwijaya ( Palembang ), yang datang ke Bali untuk mengembangkan Agama Budha
Mahayana. Sebaimana diketahui Kerajaan Sriwijaya adalah menjadi pusat Agama Budha
Mahayana di Asia Tenggara kala itu.
Beliau
mendirikan istana dilingkungan desa Besakih, yang bernama Singhadwala atau
Singhamandawa, Baginda amat tekun beribadat, memuja dewa-dewa yang berkahyangan
di Gunung Agung. Tempat pemujaan beliau terdapat disitu bernama "Pemerajan
Selonding". Ada peninggalan beliau sebuah benda besar yang terbuat dari
perunggu, yang merupakan "lonceng", yang didatangkan dari Kamboja.
Lonceng itu digunakan untuk memberikan isyarat agar para Biksu-Biksu Budha dapat
serentak melakukan kewajibannya beribadat di biaranya masing-masing. Benda itu
kini disimpan di Desa Pejeng, Gianyar pada sebuah pura yang bernama "Pura
Penataran Sasih"
Pada
jaman pemerintahaan beliau penduduk Pulau Bali merasa aman, damai dan makmur.
Kebudayaan berkembang dengan pesat. Beliau memeperbesar dan memperluas Pura
Penataran Besakih, yang ketika itu bentuknya masih amat sederhana. Keindahan
dan kemegahan Pura Besakih hingga sekarang tetap dikagumi oleh dunia.
Shri
Kesari Warmadewa merupakan tokoh sejarah, ini bisa dibuktikan dari beberapa
prasasti yang beliau tinggalkan seperti Prasasti Blanjong di Sanur, Prasasti
Panempahan di Tampaksiring dan Prasasti Malatgede yang ketiga-tiganya ditulis
pada bagian paro bulan gelap Phalguna 835 S atau bulan Februari 913. Shri
Kesari Warmadewa menyatakan dirinya raja Adhipati yang berarti dia merupakan
penguasa di Bali mewakili kekuasaan kerajaan lain yaitu Sriwijaya. Kemungkinan
beliau adalah keturunan dari Balaputradewa, hal ini berdasarkan kesamaan cara
penulisan prasasti , kesamaan dalam menganut agama Budha Mahayana dan kesamaan
nama dinasti Warmadewa.
b. 915M
- 942M Shri Ugrasena
Setelah
pemerintahan Sri Kesari Warmadewa berakhir, tersebutlah seorang raja bernama Sri Ugrasena memerintah di Bali.
Walaupun Baginda raja tidak memepergunakan gelar Warmadewa sebagai gelar
keturunan, dapatlah dipastikan, bahwa baginda adalah putra Sri Kesari
Warmadewa. Hal itu tersebut di dalam prasasti-prasasti (aantara lain Prasasti
Srokadan) yang dibuat pada waktu beliau memerintah yakni dari tahun 915 s/d
942, dengan pusat pemerintahan masih tetap di Singha-Mandawa yang terletak di
sekitar desa Besakih.
Prasasti-Prasasti itu kini disimpan di Desa Babahan, Sembiran, Pengotan,
Batunya (dekat Danau Beratan), Dausa, Serai (Kintamani), dan Desa Gobleg.
c. 943M
- 961M Shri Tabanendra Warmadewa
Baginda
raja Sri Tabanendra Warmadewa yang berkuasa di Bali adalah raja yang ke tiga
dari keturunan Sri Kesari Warmadewa. Baginda adalah putra Sri Ugrasena, yang
mewarisi kerajaan Singhamandawa. Istri Baginda berasal dari Jawa, adalah
seorang putri dari Baginda Raja Mpu Sendok yang menguasai Jawa Timur. Di dalam
prasasti yang kini tersimpan di Desa Manikliyu (Kintamani), selain menyebut
nama Baginda Sri Tabanendra Warmadewa, dicantumkan pula nama Baginda Putri.
Beliau memerintah dari tahun 943 s/d 961.
d. 961M
- 975M Shri Candrabhaya Singha Warmadewa
e. 975M
- 983M Shri Janasadhu Warmadewa
f. 983M
- 989M Shri Maharaja Sriwijaya Mahadewi
g. 989M
- 1011M Shri Udayana Warmadewa (Dharmodayana Warmadewa) - Gunaprya
Dharmapatni
h. Shri
Udayana Warmadewa, menurunkan tiga putra:
a. 1.
Airlangga
b. 2.
Marakata
c. 3.
Anak Wungsu
i.
1011M - 1022M Shri Adnyadewi / Dharmawangsa Wardhana
j.
1022M - 1025M Shri Dharmawangsa Wardhana
Marakatapangkaja
k. 1049M
- 1077M Anak Wungsu
l.
1079M - 1088M Shri Walaprabu
m. 1088M
- 1098M Shri Sakalendukirana
n. 1115M
- 1119M Shri Suradhipa
2. Kondisi Geografis dan Wilayah Buleleng
Kerajaan Buleleng berpusat di Buleleng, Bali bagian
utara. Letaknya yang berada di pesisir menyebabkan Buleleng banyak disinggahi
kapal-kapal dagang dari Sumatra dan Jawa. Karakteristik wilayah Buleleng dibagi
menjadi dua, yaitu dataran rendah di bagian utara dan dataran tinggi di bagian
selatan. Menyatunya pantai dan pegunungan ini menyebabkan penduduk di Buleleng
selalu menjunjung tinggi semboyan nyegara
gunung. Konsep nyegara gunung berarti
segala pemberian alam maupun dari laut maupun gunung wajib disyukuri dan selalu
dijaga kesuciannya.
3. Peninggalan
a.
Prasasti Blanjong
Prasasti
Blanjong (atau Belanjong) adalah sebuah prasasti yang memuat sejarah tertulis
tertua tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini disebutkan kata Walidwipa, yang
merupakan sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti ini bertarikh 835 çaka (913 M),
dan dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang bernama Sri Kesari Warmadewa.
Prasasti Blanjong ditemukan di
dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di daerah Sanur, Denpasar, Bali.
Bentuknya berupa pilar batu setinggi 177 cm, dan bergaris tengah 62 cm.
Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam huruf; yaitu huruf Pra-Nagari
dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan huruf Kawi dengan menggunakan bahasa
Sanskerta.
Situs prasasti ini termasuk
dalam lingkungan pura kecil, yang melingkupi pula tempat pemujaan dan beberapa
arca kuno.
b. Prasasti
Panempahan,
c. Prasasti
Melatgede
d. Pura
Tirta Empul
Sejarah pura tersebut yang terletak di daerah
Tampaksiring Bali dibangun pada tahun 967 M (Tahun Caka : 889) oleh raja Sri
Candrabhaya Warmadewa. Pura atau Tempat suci ini, digunakan beliau untuk
melakukan hidup sederhana, lepas dari keterikatan dunia materi, melakukan tapa,
brata, yoga, semadi, dengan spirit alam sekitarnya. Di halaman pura suci
tersebut ada palinggih utama bebaturan “tanpa atap” yang disebut palinggih
Tapasana, hanya ditumbuhi padang ilalang tumbuh di atasnya.
Penamaan Pura Tirta Empul yang dijelaskan dalam Babad
Bali, adalah kemungkinan besar diambil dari nama mata air yang terdapat didalam
pura ini yang bernama Tirta Empul seperti yang telah disebutkan diatas. Secara
etimologi bahwa Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka
Tirta Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah. Air Tirta
Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat
beberapa peninggalan purbakala. Air suci yang ada di pura ini, sebagaimana
disebutkan dalam purana bali dwipa, berfungsi untuk memusnahkan racun yang
disebarkan oleh Mayadenawa. Sehingga Pura Tirta Empul ini digunakan untuk
upacara melukat seperti penjelasan dalam tata cara melukat / meruwat di Pura
Tirta Empul, Tampak Siring.
e. Pura Penegil Dharma
Pura Penegil Dharma | sejarah pendirian pura ini dimulai
pada 915 Masehi yang keberadaan pura ini berkaitan dengan sejarah panjang
Ugrasena, salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I dan kedatangan Maha Rsi
Markandeya di Bali.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa:
1.
Dinasti
Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa.
2.
Pada
masa pemrintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu golongan caturwarna dan
golongan luar kasta (jaba).
3.
Pada
masa Raja Udayana, kesenian dibedakan menjadi dua, yaitu seni keraton dan seni
rakyat.
4.
Kegiatan ekonomi masyarakat Buleleng
bertumpu pada sektor pertanian.
5.
Masyarakat Buleleng didominasi Agama
Hindu Syiwa.
B. SARAN
Dengan keberadaan kerajaan-kerajaan yang terlahir di Indonesia, kita harus
bisa mengapresiasi peninggalan-peninggalan yang menjadi sumber ilmu pendidikan
dari generasi ke generasi. Upaya pengapresiasian itu sendiri dapat dengan
melestarikannya, memeliharanya, dan tidak merusaknya. Jika kita dapat
berpartisipasi dalam upaya tersebut, berarti kita mengangkat derajat dan jati
diri bangsa. Dengan begitu kita dapat menanamkan rasa nasionalisme terhadap
negara Indonesia.
SUMBER
http://id.scribd.com/doc/188009330/Kerajaan-Buleleng-Dan-Dinasti-Warmadewa
http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Blanjong
http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2011/06/wisata-budaya-puri-gede-buleleng.html
http://sejarahbabadbali.blogspot.com/2013/09/dinasti-warmadewa.html
http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2011/12/pura-tirta-empul.html
http://sr.rodovid.org/wk/Посебно:ChartInventory/777059
http://wisata.balitoursclub.com/wp-content/uploads/2012/09/Buleleng.jpg
PR Sejarah Indonesia Kelas X Semester 2
good makasih bang
ReplyDeleteThank you
ReplyDelete